360° (THREE-SIXTY DEGREE).
× Apa itu ‘three-sixty degree’?
360° adalah istilah untuk mengungkapkan fenomena saat sebagian orang khususnya kita para remaja, ketika memasuki Ramadhan memiliki semangat beribadah yang membara. Shalat fardhunya, puasanya, tarawihnya, i’tikafnya, nggak pernah absen. Namun ketika Ramadhan berlalu, kita kembali ke lifestyle awal, kita meneruskan dosa-dosa “yang sempat tertunda”.
Saudaraku, jadilah kita hamba Allah (Rabbaniyun), bukan hamba Ramadhan (Ramadhaniyun).
Kita beribadah tentu harus dengan niat karena Allah Ta’ala semata, hanya mengharapkan ridho-Nya, bukan karena Ramadhan.
Allah Ta’ala berfirman,
“dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)
Pada ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa kita beribadah sampai ajal menjemput, bukan sampai datang bulan Syawal (berakhirnya Ramadhan).
Lalu, mengapa kita shalat 5 waktu, dzikir pagi petang dan qiyamul lail (tahajud), hanya di Ramadhan saja?
Untuk yang akhwat (wanita), mengapa berhijabnya hanya di Ramadhan saja?
Kita ini hamba Allah atau hamba Ramadhan?
Dan untuk membuktikan bahwa kita ini HAMBA SIAPA, lihat diri kita setelah Ramadhan berlalu.
× Lalu, bagaimana agar istiqomah?
Evaluasi hati.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Iman seorang hamba tak akan istiqomah sebelum hatinya istiqomah”.
Ketika amalan hati kita belum baik, amalan dzahir (seperti shalat, membaca al-Qur’an, dll) kita tak akan bisa baik/istiqomah.
Banyak orang yang menilai atau menjadikan parameter kebaikan itu ada pada penampilan.
Sebagai contoh, ketika seorang akhwat ditanya oleh seorang teman tentang pengalaman hijrahnya, kira-kira apa yang akan ia ceritakan terlebih dahulu?
Sebagian pasti akan menceritakan pengalamannya ketika belum berhijab hingga akhirnya berhijab.
Padahal kenyataannya, banyak yang penampilannya sudah syar’i, tetapi ghibah jalan terus, dusta jalan terus, hasad jalan terus, iri jalan terus, ada masalah sedikit langsung galau.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ya, parameter kebaikan itu bukan pada penampilan, melainkan qalbu, atau yang biasa yang kita sebut hati..
Saudaraku, pada hadits tentang segumpal daging tadi, ada sebagian konten hadits yang terpotong, yang mana antara 2 variabelnya seakan tidak berkorelasi. Berikut hadits lengkapnya:
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan (binatang ternaknya) di sekitar daerah terlarang, hampir-hampir dia akan masuk menggembalakan (binatang ternaknya) di daerah tersebut. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki daerah terlarang. Ketahuilah bahwa daerah terlarang milik Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, dan jika buruk menjadi buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim)
Apa makna hadits ini?
Yaitu, bahwa kita tidak akan mampu mencukupkan diri dengan yang halal serta tidak akan mampu untuk meninggalkan segala yang haram, kecuali jika hati kita baik.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki 2 fase dakwah, fase pertama yaitu selama 13 tahun berdakwah ‘La ilaha ilallah’, mendakwahkan aqidah kepada umat, karena aqidah sangat berhubungan erat dengan hati. Dan fase kedua, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah tentang shalat, puasa dan lain sebagainya, itupun di akhir-akhir hidupnya. Ini menunjukkan betapa pentingnya amalan hati, namun dengan tidak sama sekali menyepelekan amalan dzahir.
Apa yang menguatkan tubuh yang lemas dan mata yang mengantuk untuk bergegas ke Masjid di waktu Subuh? Bukankah itu iman yang terpancar dari hati?
Di zaman Rasulullah, ketika wahyu tentang larangan meminum khamr turun, saat itu juga seisi Madinah langsung menumpahkan khamr dari gelas-gelas mereka ke tanah, bahkan banyak dari mereka yang memasukkan jari ke mulut agar bisa memuntahkan khamr yang baru saja diminum. Mereka tak sudi ada sesuatu yang dilarang oleh Allah berada dalam tubuh mereka. Ya.. Di zaman mereka Allah tak perlu presentasi. Ketika wahyu turun, semua “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat). Sedangkan kita saat ini, untuk meniadakan khamr yang dijual bebas di minimarket saja sulitnya setengah mati. Ini masalah iman saudaraku, ini masalah hati.
Ketika orang-orang beriman melakukan kebaikan, mereka shalat, baksos, bersedekah dan lain sebagainya, mereka takut dan khawatir. Mereka takut dan khawatir amal ibadahnya tak diterima.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. (QS. al-Mu’minun: 60)
Do’a menunjukkan kekhawatiran. Umar bin Khattab misalnya, seorang Shahabat yang disebut-sebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada Nabi penerus setelah beliau, Umar lah yang pantas. Meski dipuji keshalihannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia takut dan khawatir, maka ia pun selalu memohon kepada Allah agar amalannya diterima. Mari kita berkaca, Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika Ramadhan meng-khattam kan al-Qur’an, dan setelah Ramadhan tak pernah putus berdo’a. Bagaimana dengan kita?
x 3 Amalan Hati
1) Cinta
Cinta akan membuat semua jadi mudah dan indah. Dan ibadah akan selalu jadi beban jika kita tak memiliki amalan hati.
2) Ilmu
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Tak akan bisa kita istiqomah jika tanpa ilmu, yaitu Kitabullah dan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saudaraku, ilmu agama itu 100% terpakai. Coba saya tanya, apa Anda masih ingat cara mencari luas Trapesium? Tidak? Kenapa tidak ingat? Karena mungkin tidak terpakai, lain hal dengan ilmu agama. Akan selalu terpakai bahkan hingga di alam kubur.
Menuntut ilmu itu wajib. Seseorang, akan mudah percaya kepada temannya yang sudah kenal bertahu-tahun dibanding dengan teman baru. Mengapa? Karena kita sudah memiliki banyak data tentang teman lama kita tersebut, kita sudah hafal segala sifatnya. Lalu bagaimana mungkin kita bisa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak memiliki data? Dan bagaimana cara agar kita memiliki data Allah dan Rasul-Nya? Hanya satu caranya, ilmu. Ilmu. Camkan itu saudaraku yang dirahmati Allah..
3) Teman
Seseorang tergantung agama teman dekatnya. Di mana kita memiliki teman dekat? Lingkungan.
Ok, ada sebuah analogi sederhana, jika kita membeli air mineral di sebuah warung, sebut saja harganya 5 ribu. Lalu minggu depan beli di minimarket dengan merk yang sama, harganya 7 ribu, lalu keesokannya kita beli di hotel, harganya 30 ribu. Mengapa harganya beda?
Lingkungan.
Sehebat apapun kita berpotensi menjadi orang yang shalih, namun jika lingkungan sehari-harinya buruk, jauh dari agama, sulit saudaraku.
Karena jika teman kita kaki lima, begitupun kita akan menjadi, dan jika teman kita bintang lima, begitupun kita in sya Allah.
(Catatan dari kajian Islam ilmiah “360°” dengan pemateri Ust. Nuzul Dzikri )