Site icon Hari Sanusi

Pahala Sholat di Masjid Haram dan Masjid Nabawi

harisanusi.com | umroh plus aqsha mq travel


Pertama: Telah ada ketetapan pelipatgandaan pahala shalat di dalam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, no. 1406. Dari Jabir radhiallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ ، وَصَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ

“Shalat di masjidku, lebih utama seribu kali (dibandingkan) shalat di selainnya kecuali Masjidil haram. Dan shalat di Masjidilharam lebih utama seratus ribu (dibandingkan) shalat di selainnya.“ (Hadits dishahihkan oleh Al-Mundziri dan Al-Bushoiry. Al-Albany berkata: “Sanadnya shahih sesuai persyaratan Bukhori dan Muslim, Irwaul Ghalil, 4/146).

Kedua: Telah ada di soal jawab yang menyebutkan perbedaan tentang ‘Masjidil Haram’ yang telah ada ketetapan pelipatgandaan (pahala). Apakah khusus di Masjid (yang ada) Ka’bah. Atau mencakup semua yang ada di dalam perbatasan (tanah) haram. Yang telah kami jelaskan bahwa pendapat yang kuat adalah yang pertama.

Ketiga: (Tanah) Haram di Madinah (pahalanya) tidak dilipatgandakan di dalamnya. Bahkan yang (ada pahala) dilipatgandakan khusus di dalam Masjid yang Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bangun saja. Dan para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai (apakah pahala tersebut masih) didapatkan dalam penambahan masjid sepeninggal beliau sallallahu’alaihi wa sallam? Mayoritas (ulama) berpendapat bahwa shalat di dalamnya dilipat gandakan sebagaimana dilipat gandakan dalam masjid yang asli. Mereka mengambil dalil akan hal itu dalam sebagian atsar.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Hukum tambahan (sama dengan) hukum yang ditambahi dalam masalah keutamaannya juga. Maka apa bagian tambahan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sallallahu’alaihi wa sallam semuanya sama dalam masalah pelipatgandaan (pahala) dan keutamaan.

Dikatakan: “Bahwa hal itu tidak ada perbadaan di kalangan ulama salaf dahulu.akan tetapi yang ada perbedaan adalah para ulama generasi khalaf, di antaranya Ibnu Uqail, Ibnu Al-Jauzi dan sebagian pengikut Imam Syafi’i. Akan tetapi telah diriwayatkan bahwa Imam Ahmad (berpendapat) tawaqquf (abstain) dalam hal itu.

Atsram berkata: “Saya berkata kepada Abu Abdullah, shaf manakah (yang disebut) shaf pertama di masjid Nabi sallalahu’alaihi wa sallam, karena saya melihat orang-orang berusaha berada sebelum mimbar dan meninggalkan shaf pertama? (beliau) berkata: “Saya tidak tahu, saya berkata kepada Abu Abdullah: “Apakah penambahan di Masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam itu menurut anda termasuk di dalamnya? Beliau berkata: “Aku tidak memiliki jawaban, sesungguhnya mereka, penduduk Madinah, lebih mengetahui hal ini.”

Diriwayatkan Umar bin syabah dalam kitab ‘Akhbaru Al-Madinah’ dengan sanad yang masih dipertanyakan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Kalau sekiranya masjid ini dibangun sampai San’a (Kota di negara Yaman) maka ia termasuk di dalam masjidku.’ Abu hurairah berkata: “Kalau sekiranya masjid ini diperpanjang sampai pintu rumahku, maka saya tidak lewati kesempatan untuk shalat di dalamnya.”

Dalam sanadnya yang lemah, terdapat riwayat dari Ibnu Umar, dia berkata: “Umar menambah bangunan masjid hingga bagian Syamiah. Kemudian berkata: “Kalau kami tambah sampai Jabanah, maka ia termasuk masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.”

Dengan sanadnya dari Ibnu Abi Dzi’bi, dia berkata, Umar berkata: “Kalau Masjid Nabi sallahu’alaihi wa sallam diperluas sampai ke Dzulhulaifah, maka ia termasuk di dalamnya.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/479)

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 37/251: “Ada usulan untuk menambah bangunan Masjid Nabawi untuk perluasan dan penambahan dari apa yang ada sejak zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Para ulama telah membahas hukum bangunan tambahan dari sisi pahala. Sebagian di antaranya mengatakan bahwa keutamaan yang telah ditetapkan pada masjid Nabi sallallahu’alaihi wa sallam juga ditetapkan pada tambahannya. Pendapat ini dipilih oleh Mazhab Hanafi, Hanbali dan pilihan Ibnu Taimiyah.

Ibnu ‘Abidin mengatakan: “Telah dimaklumi bahwa Masjid Nabawi telah ditambah. Umar, Utsman, Walid kemudian Al-Mahdi telah menambahnya. Maka isyarat tersebut (yakni dalam sabda Nabi sallallahu’alaihi wasallam “Dan Masjidku ini”) menunjukkan termasuk tambahan masjid juga. Tidak diragukan lagi bahwa semua masjid yang ada sekarang (tetap) dinamakan Masjid Nabawi sallallahu’alaihi wa sallam. Maka, karena petunjuk dan penamaan telah disepakati, maka penamaan tidak dapat digugurkan, dan dengan demikian pelipatgandaan (pahala) yang telah disebutkan dalam hadits, juga termasuk pada bagian tambahan masjid tersebut.”

Sebagaimana dikutip oleh Al-Jara’i dari Ibnu Rajab (kesimpulan) seperti itu juga. Dikatakan bahwa tidak didapati dari kalangan (ulama) salaf perbedaan dalam masalah itu.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau tawaqquf (tidak memberikan pendapat). As-Samhudi –dari mazhab Maliki- menguatkan bahwa tambahan dari Masjid Nabawi termasuk dalam keutamaan yang ada di hadits.

Dikutip juga dari Imam Malik bahwa beliau ketika ditanya tentang batasan Masjid (Nabawi) yang ada dalam hadits, apakah ia seperti waktu zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam atau seperti yang ada sekarang? Beliau menjawab: “Justeru, yang sekarang ada itu (termasuk batasan Masjid).” Lalu beliau (melanjutkan) berkata, karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah memberitahukan apa (yang akan terjadi) setelahnya, didekatkan baginya bumi, dan diperlihatkan kepadanya timur dan baratnya. Dan menyampaikan sesuatu yang ternyata terjadi setelah itu. Terlepas ada orang yang mengingatnya atau melupakannya. Kalau bukan karena (pandangan) ini, para Kulafaur Rasyidun tidak akan berani menganggap boleh menambahkannya di dalamnya, dengan disaksikan para shahabat dan tidak ada di antara mereka yang mengingkarinya.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa keutamaan ini khusus pada Masjid Nabi sallallahu’alihi wa sallam yang ada pada zamannya saja tanpa tambahan yang ada setelahnya. Yang sependapat dengan ini adalah Ibnu Uqail, Ibnu Al-Jauzi dan sekelompok dari mazhab Hanbali.

3#P5004

Artikel Terkait

Exit mobile version